Sabtu, 31 Oktober 2015

“Shalat Landasan Politik Membangun Masyarakat Bersih”



BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar belakang
Satu diantara ibadah khusus adalah shalat. Shalat termasuk kategori ibadah mahda,ibadah kepada allah yang bersifat pribadi dan tidak bisa digantikan atau diwakilkan. Shalat wajib dilaksanakan oleh setiap muslim dewasa dalam keadaan apapun sehat ataupun sakit, normal maupun darurat. Shalat adalah ibadah yang menjadi faktor pembeda antara muslim dan nonmuslim. Seorang yang mengaku beriman dan secara senghaja meninggalkan shalat maka ia telah fasik, bahkan menurut sebagian ulama ia telah murtad (keluar dari islam) dan halal diperangi.
Shalat adalah ibadah khusus yang mempunyai tempat khusus, karena setiap manusia pasti melaksanakaannya. Karena kekhususannya itu maka dapat dianggap sebagai standar keberhasilan dari ibadah khusus lainnya seperti  puasa, zakat, dan haji. Keberhasilan seseorang dalam shalatnya terpancar melalui perilaku kesehariannya. Jika perilakunya baik, maka shalatnya dapat dikatakan berhasil. Begitu pula dengan orang yang perilakunya masih “tidak baik”, maka dapat dikatakan shalatnya belum berhasil. Hal ini di tegaskan oleh ALLAH SWT “sesungguhnya shalat itu dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar”

B.   Rumusan Masalah
1.    Apa yang dimaksud dengan shalat?
2.    Bagaimana visi politik dalam memberantas maksiat?
3.    Bagaimana demokratisasi dan mekanisme politik dalam metafor shalat?
C.   Tujuan
1.    Untuk megetahui pengertian dari shalat
2.    Untuk mengetahui visi politik shalat dalam memberantas maksiat
3.    Untuk mengetahui demokratisasi dan mekanisme politik dalam metafor shalat

BAB II
PEMBAHASAN

A.   Pengertian shalat
Shalat ditilik dari segi etimologi, berarti doa. Sedangkan menurut terminology shalat berarti segala ucapan dan perbuatan (gerakan) yang dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam  dengan syarat-syarat tertentu dalam hal ini di kecualikan dengan sujud tilawah dan sujud syukur.
Ketentuan rukun shalat meliputi:
1.    niat, berdiri bagi yang kuasa (jika tidak, duduk atau berbaring),
2.    akbiratul ihram,
3.    membaca al-fatiha,
4.    rukuk,
5.    I’tidal,
6.    sujud dua kali,
7.    duduk diantara dua sujud,
8.    duduk akhir,
9.    membaca tahiyat (tasyahud),
10. membaca shalawat untuk Nabi SAW,
11. salam pertama.
Rukun ini dilaksanakan secara tartib. Setelah selesai shalat, biasanyanya dilanjutkan dengan doa atau wirid.


B.   Visi politik shalat memberantas maksiat
Kesehatan masyarakat tercipta dengan meminimalisir dan atau-jika mungkin menghilangkan sama sekali segala bentuk maksiat dan penyakit sosial. Diantara penyakit sosial yang sangat mengganggu tatanan (pranata) sosial adalah penyalahgunaan obat terlarang, narkotika, alcohol, dan zat adiktif lainnya (NAZA), ponografi, pornoaksi, perzinahan (hubungan seks diluar nikah dan prostitusi) dan aborsi. Yang sangat menyedihkan industrialialis minuman keras atau NAZA melalui suatu iklan tv misalnya, menjadikan remaja sebagai target dan melambangkan minuman keras sebagai symbol persahabatan serta hadiah yang disejajarkan dengan kembang.
Penyalahgunaan NAZA sebagai penyakit sosial (tingkah laku sosiopatik) memunculkan maslah sosial atau deviasi sosial, disorganisasi, disintegrasi, dan diferensiasi sosial,bahkan kearah deviasi situasional kumulatif ketika mabok menjadi ‘’Budaya’’ masyarakat.
Menurut Ahmad Sauqi AL-Banjari sebab terbesar munculnya pecandu khamar atau NAZA, hakikatnya kembali pada tiga hal,antara lain:
1.    Adanya kepercayaan dan pandangan yang keliru dari sebagian orang bahwa khamar dapat merangsang nafsu makan, melancarkan (saluran air kencing, menggairahkan seksual, mengakrabkan pergaulan, dan dapat menghangatkan bada. Industrialis minuman keras, sejak dulu sampai sekarang secara agresif berkampanye bahwa khamar atau minuman keras merupakan tradisi indah yang harus dilestarikan.
2.    Ingin menyelamatkan diri dari kemelut hidup atau stress dan sebagai upaya melarikan diri dari kenyataan. Hal ini, akibat tidak mempunyai hiburan untuk penyegaran, seperti olahraga, teater, organisasi.
3.    Problem rumah tangga, pengangguran, kefakiran,kesusahan, kejenuhan, dan terisolasidari masyarakat.
Terapi terbaik untuk menghilangkan problem khamar atau NAZA akibat keliruan persepsi sebagai anggota masyarakat mengenai khamar atau NAZA dan makna hidup adalah dengan memadukan: (1) pendidikan agam, (2) penyuluhan kesehatan. Nasehat agama yang disertai argumen-argumen medis (kesehatan) akan memberikan hasil nyata dalampencegahan NAZA, karena agama memberikan orientasi (arah) dan tujuan hidup, membangkitkan jiwa dan keberanian menghadapi kehidupan sebagai mengganti pelarian kepada minuman keras atau mabuk-mabukan.
“barang siapa beriman kepada allah dan hari akhir, maka jadi janganlah duduk pada hidangan disuatu rumah yang terdapat khamar di dalamnya” (al- bazari).
Permasalahan penyalahgunaan NAZA mempunyai dimensi yang luas dan kompleks, baik dari sudit medic, psikiatrik,kesehatan jiwa, maupun psikososial. Secara singkat, dapat diuraikan bagaimana cara  islam menanggulangi problem khamar atau NAZA  melalui dua metode berikut:
1.    Pencegahan secara bertahap sehingga tidak memberatkan mereka untuk meninggalkannya.
2.    Menghubungkan perintah-perintah itu dengan kasus-kasus yang terjadi, sehingga dapat terdeteksi pengaruh psikologisnya.
“mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya….” (QS Al-Baqarah :219)
“hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.” (QS. An-Nisa’: 43)
Mengingat bahaya khamar atau NAZA dalam kehidupan masyarakat, maka bagi mereka yang melanggar diancam dengan siksa neraka jahannam dihari kiamat nanti dan diberi hukuman pula di dunia. Pada masa umar bin khatab, hukuman bagi orang yang memimum khamar adalah di cambuk 80 kali.
Tindakan tegas dengan pendekatan hukum (legalistic) diatas tidak berlaku untuk konsumen (pecandu) khamar atau NAZA tetapi termasuk juga produsen, buruh, distributor, penyalur, pengedar dan sebagai mana sabda Rasulullah SAW berikut:
“dalam persoalan khamar ini, ada 10 golongan yang dikutuk oleh ALLAH SWT, yaitu : (1) orang yang memerahnya, (2) yang menyuruh memerahnya, (3) meminumnya (4) yang membawanya, (5) yang menanggungnya, (6) yang mengairinya, (7) penjualnya, (8) yang memakan hasil penjualnnya, (9) yang memberinya, dan (10) yang membelikan untuknya”. (H.R. Ibn Maja dan Tirmidzi).

C.     Visi politik shalat membangun moralitas bangsa
Ajaran islam menegaskan bahwa, shalat sah hanya jika dilakukan dengan mengenakan pakaian yang bersih dari kotoran najis dan menurut sebagian ulama-bebas dari alcohol. Ketentuan ini penting untuk kenyamanan dan kekhusyu’an shalat. Apalagi jika shalat dilakukan secara berjamaah, agar terbebas dari bau yang kurang enak, dianjurkan menggunakan parfum atau wewangian yang sebisa mungkin terbebas dari alkohol. Selain harus berpakaian yang bersih dari najis, pakaian yang dikenakan harus menutup aurat. Aurat adalah bagian tubuh yang harus ditutupi dan dihindarkan dari pandangan orang lain. Tidak sah shalat seseorang tanpa mengenakan busana yang menutup aurat. Aurat laki-laki adalah bagian tubuh antara pusar dan lutut. Aurat perempuan adalah seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan kedua tangannya sampai pergelangan.
Dalam kesimpulan Abu Syuqqah, syarat-syarat yang wajib dipenuhi dalam pakaian wanita apabila dia bertemu dengan lelaki asing berdasarkan informasi al-qur’an dan hadist adalah:
a.    Menutupi semua badan kecuali wajah, telapak tangan, dan dua tumit
b.    Menjaga keserasian dalam perhiasan pakaian, wajah, dua telapak tangan, dan dua tumit.
c.    Pakaian dan perhiasan hendaklah dikenal masyarakat muslim
d.    Pakaian itu berbeda secara keseluruhan,dengan pakaian lelaki
e.    Pakaian itu berbeda secara keseluruhan, dengan apa yang menjadi ciri wanita kafir.
Busana muslimah mendorong pemakaiannya untuk berperilaku yang sesuai dengan citra diri muslimah. Menurut huain  syathath, berbusana muslimah berarti:
1.    Ketaatan pada perintah Allah
2.    Membiasakan menghiasi diri dengan rasa malu
3.    Mengekang hawa nafsu seksual secara baik
4.    Mengekang hawa nafsu untuk memamerkan diri dan menonjolkan egoism
5.    Meliindungi masyarakat dari penyakit sosial
6.    Melindungi generasi muda dari kebebasan seksual
Zina disebut fahisyah, karena secara psiko-sosiologis mengakibatkan kebersihan jiwa hancur dan ternoda, menghilangkan kepercayaan diri,menurunkan martabat,memutuskan hubungan kekeluargaan, prostitusi, homoseksual, dan lesbian, dan akhirnya menghancurkan nasab (keturunan sah) dan lahirlah anak-anak diluar nikah sedangkan secara medis, perzinaan akan memungkinkan terjangkitnya penyakit-penyakit kelamin, seperti sipilis, kencing nanah atau impotensi (frigid). Dimaklumi bahwa penyakit kelamin tersebut menular melalui hubungan seksual, karena itu dilarang “gonta-ganti” pasangan, seorang muslim yang shalih (shalihah) dilarang menikah dengan pezinah.
Terapi yang jitu untuk menaggulangi berbagai penyakit sosial, khususnya masalah perzinaan ini adalah dengan membudayakan aurat, memelihara institusi pernikahan, dan puasa sehingga benar-benar menciptakan ketenangan dan kedamaian.

D.     Demokratisasi dan Mekanisme Politik dalam Metafor Shalat
1.    Azan dan persiapan shalat
Saat azan dikumandangkan oleh muadzin, sebagai tanda waktu shalat telah tiba, umat muslimin yang telah dewasa(baligh), berakal sehat dan terjaga bergegas memenuhi panggilan menuju masjid.mereka segera mengambil air wudhu, membersihkan diri dari najis dan hadas;mengenakan busana yang bersih, rapi(menutup aurat), harum mewangi, dan indah; dan mengarahkan seluruh visi dan orientasi hidup mereka menghadap ka’bah(baituallah). Inilah secerca harapan kolektif menuju kehidupan yang bersih,bebas KKN, dan bermartabat.
2.    Pemilihan imam
Muadzin melanjutkan tugasnya melantunkan ikomat sebagai syarat bahwa shalat berjamaah segera dimulai. Karena itu pula imam pun segera dipilih diantara anggota jamaah yang terbaik, dengan catatan: muadzin tidak dicalonkan menjadi imam.
Rasulullah SAW menurut riwayat dari uqbah bin amri bersabda yang maknanya sebagai berikut ’’yang menjadi imam diantara kamu adalah yang terbaik bacaan(dan pemahamannya) tentang al-quran; jika bacaan dan pemahaman mereka tentang al-quran sama, maka yang terpandai dalam sunah, nabawiyah. Jika kepakaran mereka tentang al-quran dan sunah nabawiyah sama, maka dilihat mana yang lebih dahulu hijrah(kemadinah); jika bersamaan pula, maka dilihat yang lebih tua. Dan janganlah seseorang imam diangkat imam ditempat kekuasaan laki-laki lain dan janganlah seseorang duduk dirumah orang lain diatas tikarnya.’’(H.R.Ahmad dan Muslim.
3.    Niat sebagai kontrak politik
Setelah pemilihan imam selesai, masing-masing memulai shalat dengan niat.bagi makmum berniat untuk menjadi makmum dan imam berniat untuk menjadi imam. Niat tersebut hakikatnya merupakan kontrak politik antara makmum kepada imam juga kepada Allah SWT,dampak dari kontrak politik tersebut seorang makmum tidak diperkenankan untuk mendahului imam, baik dalam gerakan atau bacaan yang lebih nyaring daripadanya(dalam shalat jahr-shalat magrib, isya, dan subuh). Walaupun imam tidak mengetahui apa yang yang dilakukan makmum tetapi makmum yakin bahwa Allah SWT mengawasi kontrak diantara mereka. Salah satu yang menunjukan bahwa manusia berusaha menjadi hamba yang mukhlis yaitu ketika mereka menyatakan bahwa’’ sesungguhnya shalat ku, ibadahku, hidupku, dan matiku adalah untuk rabb’’.
Kalau mushali memahami dan menghayati ucapan tersebut, bacaan itu merupakan kesungguhan secara totalitas untuk menghambakan dirinya kepada Allah, rabb pemilik alam ini.
4.    Relasi kuasa imam-makmum
Imam terpilih, sesaat sebelum memimpin shalat secara berjamaah, segera memeriksa barisan dan memberikan arahan agar makmum (anggota jamaah) merapatkan barisan, meluruskan shaf dan menjalin kebersamaan dalam menapaki “sahara ruhani” demi kesempurnaan shalat. Jika jamaah shalat massif, maka posisi makmum yang cerdik, pandai, berada di shaf awal dekat posisi imam hal ini sesuai dengan hadist nabi SAW, “dari ibn mas’ud., Nabi SAW bersabda: “hendaklah yang berdiri didekatku orang-orang cerdik, pandai, menyusul orang-orang yang hampir menyamai mereka, kemudian menyusul orang-orang yang hampir menyamai mereka pula dan jauhilah olehmu suara ribut seperti di tengah pasar” (H.R Ahmad Muslim, Abu Daud, dan Tirmidzi)
Ketaan pada imam bersyarat: jika selaras dengan visi al-quran dan hadist.  Ketika imam alpa dalam gerakan shalat tidak sesuai ketentuan allah dan rasullnya maka makmum harus mengingatkan imam dengan cara membaca tasbih (bagi laki-laki) dan menepuk tangan (bagi perempuan). Sedangkan jika alpa dalam bacaan makmum dapat meluruskan dan membimbing bacaan imam sebaimana mestinya.
Seluruh proses shalat yang dimulai dengan perilaku ALLAHU AKBAR! Itu di akhiri dengan ucapan salam : assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh. Jadi, dimulai dengan mengagungkan allah dan bermuara pada tujuan memuliakan kemanusiaan yang senantiasa merindukan perdamaian dan kebahagian. Tentu saja perdamainan sejagad tidak sebatas orang islam. Perdamaian yang dicita-citakan itu, insya ALLAH, segera mewujud jika ketidak adilan dunia segera diakhiri dan kemakmuran di bagi secara merata keseluruh peloksok dunia. Karena itulah ALLAH berfirman:
“apabila telah ditunaikan shalat maka bertebaranlah kamu dimuka bumi, dan carilah karunia ALLAH dan ingatlah ALLAH supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Jum’at : 10)
Demikianlah,cara islam membebaskan masyarakat dari penyakit sosial, yang dapat merosotnya moralitas dan martabat bangsa serta membawa kearah kehinaan. Inilah kiranya posisi penting shalat dalam ajaran islam sebagai tiang agama, sekaligus indikator  keberislaman seseorang muslim dan tiket untuk masuk surga. Inilah juga barang kali mengapa kita shalat perlu dimaklumatkan melalui peristiwa isra’ mi’raj.


         BAB III
PENUTUP

A.   KESIMPULAN
Shalat adalah ibadah khusus yang mempunyai tempat khusus karena setiap manusia pasti dapat melaksanakannya. Karena kekhususannya itu, maka dapat di anggap sebagai standar keberhasilan dari ibadah khusus lainnya seperti puasa, zakat, dan atau haji. Keberhasilan seseorang dalam shalatnya terpancar melalui perilaku kesehariannya. Jika perilakunya baik, maka shalatnya dapat dikatakan berhasil. Begitu pula dengan orang yang perilakunya masih “tidak baik”, maka dapat di katakan shalatnya belum berhasil. Hal ini ditegaskan oleh ALLAH SWT, “sesungguhnya shalat itu dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar”.
Pada setiap diri terdapat kebutuhan dasar kerohanian (basic spiritual needs). Pemenuhan kebutuhan rohani ini akan memberikan rasa tenang, rasa aman, dan membebaskan diri dari rasa cemah.
Dalam demokratitasi dan mekanisme politik dalam metafor shalat meliputi :
1.    Azan dan persiapan shalat
2.    Pemilihan imam
3.    Niat sebagai kontrak politik
4.    Relasi kuasa imam-makmum.



DAFTAR PUSTAKA
                                                           
Prof. Dr. H. Yoyo Mulyana, M.Ed islam progresif, serang : untirta press, 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar