Wal tandhur nafsun ma qaddamat Ii ghad
Perhatikan sejarahmu untuk hari esokmu (Q5 59, 18)

Seperti yang diangkat oleh K.R.H.
Abdullah bin Nuh masalah waktu masuknya Islam ke Indonesia semestinya
terjadi pada abad ke-7 M. Ternyata dituliskan sangat jauh berbeda
waktunya. Dimundurkan hingga abad ke-13 M. Tidak hanya masalah waktu,
tetapi juga dituliskan oleh Orientalis kehadiran Islam di tengah bangsa
dan negara Indonesia dinilai mendatangkan perpecahan. Karena Islam
dinilai menimbulkan banyak kekuasaan politik Islam atau kesultanan yang
tersebar di seluruh Nusantara sehingga imperialis Barat menemui
kesukaran untuk menguasai Nusantara Indonesia.
Sebaliknya, walaupun kekuasaan politik
atau Keradjaan Hindoe dan Boeddha, tidak terdapat di seluruh pulau
Nusantara Indonesia, tetapi ditafsirkan bangsa Indonesia saat itu
mengalami zaman kejayaan dan keemasan. Interpretasi Orientalis dan
imperialis Barat, selalu memuji Keradjaan Hindoe Boeddha dan
mendiskreditkan Islam.
Hal ini diakibatkan pelopor perlawanan
terhadap penjajah Barat di Indonesia adalah Ulama atau Wali Sanga.
Ketika imperialis Barat, Keradjaan Katolik Portoegis, 1511 M, dan
Keradjaan Protestan Belanda, 1619 M, mencoba menguasai Indonesia, selalu
dihadang oleh Ulama dan Santri. Oleh karena itu, sejarawan Barat,
menyebutnya sebagai Santri Insurrection – Perlawanan Santri.
Mengapa tidak dilawan oleh kekuasaan politik Boeddha Sriwidjaja dan
Hindoe Madjapahit. Pada saat penjajah Barat tiba di Nusantara, keduanya
sudah tiada. Akibatnya, kedua penjajah Barat dengan Politik
Kristenisasinya, dengan agama Katolik dan Protestan mencoba menjajah
Nusantara Indonesia berhadapan dengan Ulama dan Santri serta sultan yang
berjuang mempertahankan kedaulatan bangsa, negara, dan agama Islam.
Jika dalam sejarah, setiap gerakan
perlawanan terhadap imperialisme, disebut sebagai gerakan nasionalisme.
Sementara dalam sejarah, Ulama dan Santri di Indonesia sebagai pelopor
perlawanan terhadap imperialisme, yang seharusnya Ulama dan Santri
dituliskan dalam Sejarah Indonesia sebagai pembangkit kesadaran nasional
di Indonesia, ternyata tidak ditulis. Padahal, Ulama dan Santri menurut
zamannya adalah kelompok cendekiawan Muslim. Kelompok inilah dalam
catatan sejarah sebagai pemimpin terdepan ide pengubah sejarah di
Nusantara Indonesia.
Perlu diingat, istilah nasional dimasyarakatkan oleh Centraal Sjarikat Islam, dalam National Congres Centraal Sjarikat Islam Pertama – 1e Natico
di Bandung, 17 – 24 Juni 1916. Namun, dalam Sejarah Indonesia akibat
diartikan nasionalisme bukan dari gerakan organisasi Islam maka istilah
nasional seperti disosialisasikan oleh Perserikatan Nasional lndonesia –
PNI – di Bandung, 4 Juli 1927. Padahal, istilah “Indonesia” dipelopori
oleh Dr. Soekiman Wirjosandjojo dengan mengubah Indische Vereniging menjadi Perhimpoenan Indonesia, 1925 M di Belanda dan Majalah Hindia Poetera
diganti menjadi Indonesia Merdeka. Akibat Dr.Soekiman Wirjosandjojo
aktif dalam pimpinan Partai Sjarikat Islam Indonesia, Partai Islam
Indonesia, dan Partai Masjoemi tidak dituliskan sebagai pelopor pengguna
pertama istilah Indonesia dan Indonesia Merdeka dalam masa Kebangkitan
Kesadaran Nasional lndonesia.
Boeng Kamo mendirikan PNI, 1927 M, sebelas tahun sesudah National Congres Centraal Sjarikat Islam Pertama – 1e Natico,
1916 M, yang dipimpin oleh Oemar Said Tjokroaminoto, Abdoel Moeis,
Wignjadisastra di Bandung. Oemar Said Tjokroaminoto tidak hanya sebagai
Guru Politik, tetapi juga sebagai mertua Boeng Karno.
Demikian pula, National Congres Centraal
Sjarikat Islam juga memelopori menuntut Indonesia merdeka, atau
Pemerintah Sendiri – Zelf bestuur, 1916 M. Namun dalam Sejarah
Indonesia, dituliskan pelopornya Boeng Karno di depan Pengadilan
Kolonial di Bandung pada 1929 M, atau Petisi Soetardjo yang menuntut
Indonesia Merdeka. Anehnya, tanggal jadi Boedi Oetomo, 20 Mei 1908,
diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Padahal, sampai dengan
Kongres Boedi Oetomo di Solo, 1928 M, menurut Mr. A.K. Pringgodigdo
dalam Sedjarah Pergerakan Rakjat Indonesia, Boedi Detomo tetap menolak
pelaksanaan cita-cita persatuan Indonesia. Walaupun sampai dengan
kongres tersebut, Boedi Oetomo sudah berusia 20 tahun, tetap
mempertahankan Djawanisme. Selanjutnya, Dr.Soetomo membubarkan sendiri
Boedi Oetomo, 1931 M karena tidak sejalan dengan tuntutan zamannya.
Ajaran Kedjawen atau Djawanisme sebagai
landasan wawasan Boedi Oetomo sangat bertentangan dengan ajaran Islam
yang dianut mayoritas pribumi. Melalui medianya Djawi Hisworo, Boedi
Oetomo berani menghina Rasulullah saw.
Walaupun Boedi Oetomo dengan media
cetaknya menghina Rasulullah saw. Sampai sekarang umat Islam sebagai
mayoritas bangsa Indonesia, tetap menaati keputusan Kabinet Hatta, 1948
M. Bersedia menghormati 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional.
Demikian pula kelanjutannya Boedi Oetomo, menjadi Partai Indonesia Raja,
dipimpin pula oleh Dr. Soetomo. Dengan media cetaknya, Madjalah Bangoen,
tidak beda dengan Djawi Hisworo, juga menerbitkan artikel yang menghina
Rasulullah saw. Selain itu, Partai Indonesia Raja-Parindra, sebagai
partai sekuler dan anti Islam. Perlu kiranya para ulama dan MUI
mempertimbangkan kembali keputusan Kabinet Hatta, 1948 M, tentang 20 Mei
sebagai Hari Kebangkitan Nasional.
Hari Pendidikan Nasional- Hardiknas pun
diperingati setiap 2 Mei, kabarnya diambil dari hari lahir Ki Hadjar
Dewantara, pendiri Taman Siswo, 1922 M, yang pada awalnya merupakan
perkumpulan Kebatinan Seloso Kliwon. Kalau ini benar, mengapa bukan hari
lahir K.H. Achmad Dachlan pendiri Persjarikatan Moehammadijah, 18
November 1912 M, sepuluh tahun lebih awal dari Taman Siswo, 1922 M, dan
pengaruhnya jauh lebih meluas di seluruh kota di Nusantara.
Akibat deislamisasi penentuan Hardiknas,
menjadikan K.H. Achmad Dachlan dan Persjarikatan Moehammadijah tidak
terpilih sebagai pelopor pendidikan nasional. Sebenarnya masih banyak
contoh lagi, upaya deislamisasi terhadap penentuan peristiwa nasional
dalam penulisan Sejarah Indonesia.
Kehadiran buku ini di tangan pembaca,
bukanlah telah berhasil meluruskan sistem penulisan Sejarah Islam
Indonesia. Belum sama sekali, hanya merupakan sebuah rintisan upaya
pelurusan. Buku ini pun hanya merupakan upaya melengkapkan karya R.K.H.
Abdullah bin Nuh semula berjudul Sejarah Islam Di Jawa Barat Hingga Zaman Keemasan Banten.
Melihat isi dan jiwa serta dasar pemikiran kesejarahan di dalamnya
karena tidak hanya membahas Sejarah Islam di Banten, tetapi juga berisi
bahasan Sejarah Islam di luar Jawa dan membicarakan Sejarah Kerasulan,
Khulafaur Rasyidin, serta perkembangan wirausahawan atau wiraniagawan
Islam pada umumnya, berikut pengaruhnya terhadap pertumbuhan kekuasaan
politik Islam atau kesultanan, dan dampak selanjutnya. Semua itu memberi
inspirasi atas lahirnya buku,
API SEJARAH:
Maha karya Perjuangan Ulama dan Santri
dalam Menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia
Selain itu, R.K.H. Abdullah bin Nuh sendiri sebenarnya banyak mengangkat fakta sejarah yang bersumber dari karya Thomas W. Arnold, The Preaching of Islam.
Guna pendekatan yang seluas sumbernya, pada buku ini Ahmad Mansur
Suryanegara menambahkan pembahasannya dengan peristiwa sejarah yang
terjadi di luar Indonesia: Sejarah Islam Mongol di India dan Islam di
Cina, terutama Islam di Timur Tengah. Hal itu karena melihat pengaruhnya
cukup besar terhadap perkembangan kekuasaan politik Islam atau
kesultanan di Nusantara Indonesia.
Walaupun buku ini telah hadir di tangan pembaca, tetapi upaya menuliskan kembali – rewrite dan menginterpretasikan kembali· reinterpretation,
sejarah Ulama dan Santri sebagai Cendekiawan Muslim di Indonesia, dan
peran wirausahawan atau wiraniagawan, serta perjuangan kaum penegak
ideologi Islam, dan upaya penguasaan maritim atau kelautan, sangat perlu
terus melakukan penelitian dan penerbitannya. Mengapa dan ada apa?
Karena adanya upaya deislamisasi penulisan Sejarah Indonesia.
Upaya deislamisasi penulisan Sejarah
Indonesia sudah berlangsung cukup lama. Secara sistemik proses
deislamisasi penulisan Sejarah Indonesia, menjadikan peran Ulama dan
Santri di bidang ipoleksosbud dan hankam, tidak mendapat tempat yang
terhormat dalam penulisan Sejarah Indonesia. Sementara masyarakat awam
dan Cendekiawan Muslim sangat kurang memperhatikannya. Mereka mengira
penulisan sejarah yang benar adalah yang pernah dituliskan terlebih
dahulu oleh sejarawan Belanda.
Selain itu, sampai sekarang ini belum
pernah terpikirkan oleh para Ulama dan Santri, terjadi keanehan dan
kejanggalan sejarah dalam Diorama Monumen Nasional. Digambarkan bahwa
Pesantren sebagai Pemersatu Bangsa Indonesia Abad Ke-1 4 M. Sedangkan
Agama Katholik Roma sebagai Faktor Penyatu 1947 dan Gereja Protestan
sebagai Pemersatu Bangsa Abad Ke-20.
Tidakkah Diorama tersebut memberikan
kesan, Pesantren berperan sebagai Pemersatu Bangsa hanya di abad ke-14
M. Hanya karena tergantikan oleh Katolik dan Protestan di abad ke-20,
peran sejarah Nahdlatoel Oelama, Persatoean Islam, Persatoean Oemat
Islam, dan lainnya ditiadakan dalam Diorama Monumen Nasional, kecuali
hanya Moehammadijah pada 18 Nopember 1912. Walaupun terlebih dahulu
didirikannya, tetapi dilempatkan pada nomor urut 25, di belakang Taman
Siswa, 3 Juli 1922, nomor 24. Sedangkan Sjarikat Islam, Persjarikatan
Oelama, Persatoean Islam, dan Nahdlatoel Oelama ditiadakan. Seluruh
Partai Politik pun ditiadakan.
Kendati demikian, upaya sementara pihak,
deislamisasi Sejarah Indonesia, di sisi lain pemerintah Republik
Indonesia masih sempat membangun tiga buah masjid sebagai monumen
mahakarya perjuangan Ulama dan Santri dalam peran aktifnya menegakkan
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pertama, di ibu kota perjuangan RI
Jogyakarta dibangun Masjid Syuhada • Masjid Pahlawan. Pertanda Republik
Indonesia menjadi merdeka karena pengorbanan harta dan jiwa para
Syuhada. Kedua, hanya karena perjuangan para pemakmur masjid, menjadikan
Indonesia Istiqlal atau Indonesia Merdeka kemudian dibangunlah Masiid
Istiqlal- Masjid Kemerdekaan di ibukota Republik Indonesia, Jakarta.
Ketiga, Indonesia sebagai tanah tumpah darah rahim ibu, dibangunlah
Masjid Baiturrahim di depan Istana Merdeka.
Mungkinkah Proklamasi 17 Agoestoes 1945,
Djoemat Legi, 9 Ramadhan 1364, dapat dituliskan dan dibacakan oleh
Proklamator jika tanpa Ulama dan Santri sebagai pengawal terdepan
Kemerdekaan Indonesia? Untuk itulah, di depan Monumen Nasional,
disimbolkan perjuangan Ulama dan Santri, dengan patung Pangeran
Diponegoro yang sedang memacu kuda, sekaligus sebagai lambang dinamika
dan mobilitas Ulama dan Santri dalam perjuangannya membebaskan Nusantara
Indonesia dari segenap penjajahan.
Buku ini berisikan fakta sejarah
perjuangan Ulama dan Santri dalam menegakkan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Walaupun karya sejarah ini kurang mendetail, tetapi tidaklah
berarti hanya berhenti sampai di sini. Generasi mendatang dan para
peminat sejarah pada penerbitan berikutnya, perlu menuliskan ulang dan
melengkapinya.
Peristiwa sejarah yang terjadi di tengah
bangsa Indonesia sampai hari ini, hakikatnya merupakan kesinambungan
masa lalu yang telah diletakkan dasarnya oleh Ulama dan Santri. Oleh
karena itu, Wal tandhur nafsun ma qaddamat li ghad– Perhatikanlah sejarahmu untuk hari esokmu (QS 59: 18). Semoga Allah merahmati, memberkahi, dan menunjuki kita semua.
Bandung, 27 Rajab 1430
20 Juli 2009
Badan Kerjasama Pondok Pesantren Seluruh Jawa Barat – BKSPP
Prof. Dr. K.H. Salimuddin Ali Rahman, M.A.
*Dicuplik dari buku “API SEJARAH Buku yang akan Mengubah Drastis Pandangan Anda tentang Sejarah Indonesia”, Ahmad Mansur Suryanegara, Salamadani Pustaka Semesta, Cetakan IV November 2010. Halaman xix – xxiv
Tidak ada komentar:
Posting Komentar