Eduard Douwes Dekker alias Multatuli adalah seorang ambtenaar
kontroversial bagi pemerintah kolonial Belanda. Alih-alih menjalankan
kebijakan pemerintahnya selaku asisten residen Lebak, ia malah
membongkar kebobrokannya. Ia terutama menyoroti praktik pemerasan,
penindasan, dan korupsi yang dilakukan sang Bupati Raden Tumenggung
Adipati Kartanatanegara beserta kroni-kroninya. Peristiwa ini ia
kisahkan dalam buku Max Havelaar.
Tahun ini genap 150 tahun peringatan penerbitan karya sastra Max Havelaar sejak diterbitkan untuk pertama kali pada 1860. Karya Multatuli (Aku sudah banyak menderita) tersebut berkisah tentang penderitaan rakyat di karesidenan Lebak. Sebuah roman yang menampar wajah pemerintah kolonial Belanda pada waktu itu. Maklumlah, isinya membongkar borok-borok praktik kolonial Belanda, dampak negatif tanam paksa (cultuurstelsel).
Ironisnya, tema sentral buku tersebut justru praktik pemerasan, penindasan, dan korupsi yang dilakukan bangsa kita sendiri, sang bupati beserta bawahannya. Ia bukannya mengayomi dan membela kepentingan rakyat, melainkan bertindak sebaliknya. Lengkaplah sudah penderitaan rakyat Lebak: dijajah Belanda dan ditindas bangsanya sendiri.
Ketidakadilan tersebut menyebabkan asisten residen Lebak pada waktu itu, Eduard Douwes Dekker, sedih sekaligus marah. Surat imbauannya kepada atasannya langsung, residen CP Brest van Kempen ataupun Gubernur Jenderal AJ Duymaer van Twist, agar menindak pelaku praktik kotor di atas, tidak digubris.
Hanya keputusasaanlah yang ia dapatkan. Inilah yang mendorongnya mengundurkan diri. Permohonan tersebut diterima langsung. Untuk kesekian kalinya, Eduard Douwes Dekker kembali mesti menjadi penganggur. Sebelumnya ia pun berhenti bekerja karena berselisih paham dengan atasannya, Gubernur Maluku. Kini berkembang sebuah asumsi bahwa kejadian di atas adalah pemakzulan terhadap dirinya (aanklacht).
Jalan satu-satunya dan terakhir sebagai ungkapan protes yang dapat Eduard Douwes Dekker lakukan hanyalah dengan menulis. Buku tersebut ditulisnya di sebuah losmen kecil di Belgia pada 1859 saat ia berada dalam kondisi tertekan dan miskin.
Sang “pemberontak”
Inilah yang menarik: dalam tatanan sosial dan politik masyarakat Belanda, meskipun Eduard Douwes Dekker memiliki pandangan politik yang berseberangan dengan pihak pemerintah, bahkan pernah mempermalukannya, obyektivitas tetap dipegang teguh. Eduard Douwes Dekker adalah seorang pejuang hak-hak asasi manusia yang memiliki pandangan jauh ke depan.
Torso “pemberontak” berdiri di salah satu sudut kota Amsterdam. Tidak hanya itu, terdapat pula museum dan komunitas pemerhati buah pikirannya. Bahkan, Max Havelaar menjadi bacaan wajib di sekolah- sekolah Belanda. Tampaknya mereka ingin belajar dari fakta sejarah.
Artikel De regent van Lebak 150 jaar later dalam NRC weekblad (majalah mingguan) edisi Januari lalu mengupas tentang peranan Eduard Douwes Dekker sebagai asisten residen (1856) serta perbuatan aib dan kejam sang bupati dan kroni-kroninya terhadap rakyat Lebak.
Sebagai perbandingan, juga diliput situasi dan kondisi daerah Lebak saat ini, termasuk sosok bupati sekarang, Mulyadi Jayabaya. Ia dinilai berhasil membangun Lebak, mengangkat kabupaten tersebut sejajar dengan kabupaten-kabupaten lain di Provinsi Banten. Sebelumnya, Kabupaten Lebak termasuk daerah “miskin”.
Menurut Agus Wisas, anggota DPRD Provinsi Banten asal Lebak, pembangunan infrastruktur di daerah Lebak sudah merata, yaitu jalan raya beraspal hingga pelosok daerah. Tujuannya agar komoditas perkebunan dan pertanian petani, yang pada zaman kolonial diperas penguasa, dapat didistribusikan langsung dan cepat. Dengan demikian, hal itu dapat menghidupkan perekonomian rakyat dan meningkatkan pendapatannya. Memang, kenyataannya kini pendapatan asli daerah Lebak meningkat tajam.
Pahlawan Lebak
Multatuli adalah seorang pahlawan bagi rakyat Lebak. Kepedulian dan pengorbanannya tidak ternilai. Untuk menghormati jasa-jasanya, namanya diabadikan pada jalan utama dan aula pemerintah kabupaten yang baru dan megah. Berkas ruang kerja Eduard Douwes Dekker pun, yang terletak di samping kanan kantor bupati, usai direnovasi bulan lalu. Terdapat pula beberapa tempat usaha penduduk yang mencantumkan nama tersebut. Namanya begitu harum di kalangan masyarakat Lebak.
Salah satu acara peringatan Multatuli di Belanda adalah kegiatan simposium “De toekomst van Multatuli” (Masa Depan Multatuli) yang berlangsung pada 15 Mei 2010 di Amsterdam. Konteksnya adalah menganalisis kekuatan teks dan filosofi yang mendasari buku Max Havelaar, sebagai bahan kajian dan pemikiran bagi generasi sekarang dan mendatang di Belanda.
Tema simposium di atas cukup menarik dan relevan bagi kita. Tidak perlu disangkal ataupun ditutupi bahwa praktik “pemerasan” dan “penindasan” terhadap rakyat kecil oleh penguasa masih berlangsung. Tidak ada salahnya kita belajar kembali memahami penderitaan rakyat jelata kepada Multatuli.
Tahun ini genap 150 tahun peringatan penerbitan karya sastra Max Havelaar sejak diterbitkan untuk pertama kali pada 1860. Karya Multatuli (Aku sudah banyak menderita) tersebut berkisah tentang penderitaan rakyat di karesidenan Lebak. Sebuah roman yang menampar wajah pemerintah kolonial Belanda pada waktu itu. Maklumlah, isinya membongkar borok-borok praktik kolonial Belanda, dampak negatif tanam paksa (cultuurstelsel).
Ironisnya, tema sentral buku tersebut justru praktik pemerasan, penindasan, dan korupsi yang dilakukan bangsa kita sendiri, sang bupati beserta bawahannya. Ia bukannya mengayomi dan membela kepentingan rakyat, melainkan bertindak sebaliknya. Lengkaplah sudah penderitaan rakyat Lebak: dijajah Belanda dan ditindas bangsanya sendiri.
Ketidakadilan tersebut menyebabkan asisten residen Lebak pada waktu itu, Eduard Douwes Dekker, sedih sekaligus marah. Surat imbauannya kepada atasannya langsung, residen CP Brest van Kempen ataupun Gubernur Jenderal AJ Duymaer van Twist, agar menindak pelaku praktik kotor di atas, tidak digubris.
Hanya keputusasaanlah yang ia dapatkan. Inilah yang mendorongnya mengundurkan diri. Permohonan tersebut diterima langsung. Untuk kesekian kalinya, Eduard Douwes Dekker kembali mesti menjadi penganggur. Sebelumnya ia pun berhenti bekerja karena berselisih paham dengan atasannya, Gubernur Maluku. Kini berkembang sebuah asumsi bahwa kejadian di atas adalah pemakzulan terhadap dirinya (aanklacht).
Jalan satu-satunya dan terakhir sebagai ungkapan protes yang dapat Eduard Douwes Dekker lakukan hanyalah dengan menulis. Buku tersebut ditulisnya di sebuah losmen kecil di Belgia pada 1859 saat ia berada dalam kondisi tertekan dan miskin.
Sang “pemberontak”
Inilah yang menarik: dalam tatanan sosial dan politik masyarakat Belanda, meskipun Eduard Douwes Dekker memiliki pandangan politik yang berseberangan dengan pihak pemerintah, bahkan pernah mempermalukannya, obyektivitas tetap dipegang teguh. Eduard Douwes Dekker adalah seorang pejuang hak-hak asasi manusia yang memiliki pandangan jauh ke depan.
Torso “pemberontak” berdiri di salah satu sudut kota Amsterdam. Tidak hanya itu, terdapat pula museum dan komunitas pemerhati buah pikirannya. Bahkan, Max Havelaar menjadi bacaan wajib di sekolah- sekolah Belanda. Tampaknya mereka ingin belajar dari fakta sejarah.
Artikel De regent van Lebak 150 jaar later dalam NRC weekblad (majalah mingguan) edisi Januari lalu mengupas tentang peranan Eduard Douwes Dekker sebagai asisten residen (1856) serta perbuatan aib dan kejam sang bupati dan kroni-kroninya terhadap rakyat Lebak.
Sebagai perbandingan, juga diliput situasi dan kondisi daerah Lebak saat ini, termasuk sosok bupati sekarang, Mulyadi Jayabaya. Ia dinilai berhasil membangun Lebak, mengangkat kabupaten tersebut sejajar dengan kabupaten-kabupaten lain di Provinsi Banten. Sebelumnya, Kabupaten Lebak termasuk daerah “miskin”.
Menurut Agus Wisas, anggota DPRD Provinsi Banten asal Lebak, pembangunan infrastruktur di daerah Lebak sudah merata, yaitu jalan raya beraspal hingga pelosok daerah. Tujuannya agar komoditas perkebunan dan pertanian petani, yang pada zaman kolonial diperas penguasa, dapat didistribusikan langsung dan cepat. Dengan demikian, hal itu dapat menghidupkan perekonomian rakyat dan meningkatkan pendapatannya. Memang, kenyataannya kini pendapatan asli daerah Lebak meningkat tajam.
Pahlawan Lebak
Multatuli adalah seorang pahlawan bagi rakyat Lebak. Kepedulian dan pengorbanannya tidak ternilai. Untuk menghormati jasa-jasanya, namanya diabadikan pada jalan utama dan aula pemerintah kabupaten yang baru dan megah. Berkas ruang kerja Eduard Douwes Dekker pun, yang terletak di samping kanan kantor bupati, usai direnovasi bulan lalu. Terdapat pula beberapa tempat usaha penduduk yang mencantumkan nama tersebut. Namanya begitu harum di kalangan masyarakat Lebak.
Salah satu acara peringatan Multatuli di Belanda adalah kegiatan simposium “De toekomst van Multatuli” (Masa Depan Multatuli) yang berlangsung pada 15 Mei 2010 di Amsterdam. Konteksnya adalah menganalisis kekuatan teks dan filosofi yang mendasari buku Max Havelaar, sebagai bahan kajian dan pemikiran bagi generasi sekarang dan mendatang di Belanda.
Tema simposium di atas cukup menarik dan relevan bagi kita. Tidak perlu disangkal ataupun ditutupi bahwa praktik “pemerasan” dan “penindasan” terhadap rakyat kecil oleh penguasa masih berlangsung. Tidak ada salahnya kita belajar kembali memahami penderitaan rakyat jelata kepada Multatuli.
sumber : http://sastrapemberontak.blogspot.co.id/2010/05/multatuli-pahlawan-rakyat-lebak.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar