Rebo Wekasan
atau disebut juga dengan Rebo Pungkasan adalah hari Rabu terakhir pada bulan
Safar. Pada hari itu sebagian masyarakat menganggap Tuhan menurunkan banyak
musibah dan bencana, karenanya pada hari ini perlu diadakan amalan untuk
memohon ampun dan bertaubat kepada Tuhan. Pada hari itu juga dianjurkan banyak
mengeluarkan sedekah kepada sesama, dan berbuat kebaikan. Sebagian masyarakat
percaya bahwa pada hari Rabu Wekasan ini memiliki nilai religius tinggi.
Hal-hal yang
biasa dilakukan di parung panjang pada saat rebo wekasan yaitu setelah solat
subuh masyarakat terutama laki-laki melakukan riungan dan meyiapkan air untuk
diberi doa dan dibagikan kepada masyarakat sekitar. Selain itu ibu-ibu biasanya
membuat makanan untuk acara riungan rebo wekasan. Sebagian masyarakat percaya
air yang telah diberi doa tersebut mampu menangkal musibah dan bencana.
Tradisi Rabu
Kasan sebenarnya tidak hanya dilakukan di Parung panjang (Bogor, jawa barat) saja,
tetapi dilaksanakan juga di daerah lain, seperti ,Banten, Jawa Timur dan Yogyakarta. Maksud
dari tradisi ini kurang lebih sama di setiap daerah yang melaksanakannya, yaitu
sama, untuk memohon kepada Allah SWT agar dijauhkan dari bala’ (musibah dan
bencana).
Menurut
Miftakhul Arif, Bulan Shafar
adalah bulan kedua dalam penanggalan hijriyah Islam. Sebagaimana bulan
lainnya, ia merupakan bulan dari bulan-bulan Allah yang tidak memiliki
kehendak dan berjalan sesuai dengan apa yang Allah ciptakan untuknya.
Masyarakat
jahiliyah kuno, termasuk bangsa Arab, sering mengatakan bahwa bulan Shafar
adalah bulan sial. Tasa'um (anggapan sial) ini telah terkenal pada umat
jahiliah dan sisa-sisanya masih ada di kalangkan muslimin hingga saat ini.
Abu Hurairah berkata, bersabda
Rasulullah,
"Tidak
ada wabah (yang menyebar dengan sendirinya tanpa kehendak Allah), tidak pula
ramalan sial, tidak pula burung hantu dan juga tidak ada kesialan pada bulan
Shafar. Menghindarlah dari penyakit kusta sebagaimana engkau menghindari singa."
(H.R.Imam al-Bukhari dan Muslim).
Ungkapan hadits
laa ‘adwaa’ atau tidak ada penularan penyakit itu, bermaksud meluruskan
keyakinan golongan jahiliyah, karena pada masa itu mereka berkeyakinan bahwa
penyakit itu dapat menular dengan sendirinya, tanpa bersandar pada ketentuan
dari takdir Allah.
Sakit atau
sehat, musibah atau selamat, semua kembali kepada kehendak Allah. Penularan
hanyalah sebuah sarana berjalannya takdir Allah. Namun, walaupun keseluruhannya
kembali kepada Allah, bukan semata-mata sebab penularan, manusia tetap
diwajibkan untuk ikhtiar dan berusaha agar terhindar dari segala musibah. Dalam
kesempatan yang lain Rasulullah bersabda: “Janganlah onta yang sakit didatangkan
pada onta yang sehat”.
Maksud hadits laa
thiyaarota atau tidak diperbolehkan meramalkan adanya hal-hal buruk adalah
bahwa sandaran tawakkal manusia itu hanya kepada Allah, bukan terhadap makhluk
atau ramalan. Karena hanyalah Allah yang menentukan baik dan buruk, selamat
atau sial, kaya atau miskin. Dus, zaman atau masa tidak ada sangkut pautnya
dengan pengaruh dan takdir Allah. Ia sama seperti waktu- waktu yang lain, ada
takdir buruk dan takdir baik.
Empat hal
sebagaimana dinyatakan dalam hadits di atas itulah yang ditiadakan oleh
Rasulullah dan ini menunjukkan akan wajibnya bertawakal kepada Allah, memiliki
tekad yang benar, agar orang yang kecewa tidak melemah di hadapkan pada
perkara-perkara tersebut.
Bila seorang
muslim pikirannya disibukkan dengan perkara-perkara tersebut, maka tidak
terlepas dari dua keadaan. Pertama: menuruti perasaan sialnya itu dengan
mendahulukan atau meresponsnya, maka ketika itu dia telah menggantungkan
perbuatannya dengan sesuatu yang tidak ada hakikatnya. Kedua: tidak menuruti
perasaan sial itu dengan melanjutkan aktivitasnya dan tidak memedulikan, tetapi
dalam hatinya membayang perasaan gundah atau waswas. Meskipun ini lebih ringan
dari yang pertama, tetapi seharusnya tidak menuruti perasaan itu sama sekali
dan hendaknya bersandar hanya kepada Allah.
Penolakan akan
ke empat hal di atas bukanlah menolak keberadaannya, karena kenyataanya hal itu
memang ada. Sebenarnya yang ditolak adalah pengaruhnya. Allah-lah yang memberi
pengaruh. Selama sebabnya adalah sesuatu yang dimaklumi, maka sebab itu adalah
benar. Tapi bila sebabnya adalah sesuatu yang hanya ilusi, maka sebab tersebut
salah..
Muktamar NU
yang ketiga, menjawab pertanyaan “bolehkah berkeyakinan terhadap hari naas,
misalnya hari ketiga atau hari keempat pada tiap-tiap bulan, sebagaimana
tercantum dalam kitab Lathaiful Akbar” memilih pendapat yang tidak mempercayai
hari naas dengan mengutip pandangan Syekh Ibnu Hajar al-Haitamy dalam Al-Fatawa
al-Haditsiyah berikut ini:
“Barangsiapa
bertanya tentang hari sial dan sebagainya untuk diikuti bukan untuk
ditinggalkan dan memilih apa yang harus dikerjakan serta mengetahui
keburukannya, semua itu merupakan perilaku orang Yahudi dan bukan petunjuk
orang Islam yang bertawakal kepada Sang Maha Penciptanya, tidak berdasarkan
hitung-hitungan dan terhadap Tuhannya selalu bertawakal. Dan apa yang dikutip
tentang hari-hari nestapa dari sahabat Ali kw. Adalah batil dan dusta serta
tidak ada dasarnya sama sekali, maka berhati-hatilah dari semua itu” (Ahkamul
Fuqaha’, 2010: 54).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar