Jumat, 18 Desember 2015

Melawan Pragmatisme

Setiap pilihan ide atau tindakan manusia didasari oleh sebuah motivasi. Motivasi merupakan satu penggerak dari dalam hati seseorang untuk melakukan atau mencapai sesuatu tujuan. Motivasi juga bisa dikatakan sebagai rencana atau keinginan untuk menuju kesuksesan dan menghindari kegagalan hidup. Dengan kata lain motivasi adalah sebuah proses untuk tercapainya suatu tujuan, seseorang yang mempunyai motivasi berarti ia telah mempunyai kekuatan untuk memperoleh kesuksesan dalam kehidupan. 

 

Pragmatisme
Abad ke-19 menghasilkan tokoh-tokoh pemikir, di antaranya ialah Karl Marx (1818-1883) di kontinen Eropa dan William James (1842-1910) di kontinen Amerika. Kedua pemikir itu mengklaim telah menemukan kebenaran. Marx, yang terpengaruh positivisme, melahirkan sosialisme dan James, seorang relativis, melahirkan pragmatisme. Baik sosialisme maupun pragmatisme dimaksudkan supaya kemanusiaan dapat menghadapi masalah besar, yaitu industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi.
Pragmatisme adalah aliran pemikiran yang memandang bahwa benar tidaknya suatu ucapan, dalil, atau teori, semata-mata bergantung kepada berfaedah atau tidaknya ucapan, dalil, atau teori tersebut bagi manusia untuk bertindak dalam kehidupannya. Ide ini merupakan budaya dan tradisi berpikir Amerika khususnya dan Barat pada umumnya, yang lahir sebagaiŲ¢ sebuah upaya intelektual untuk menjawab problem-problem yang terjadi pada awal abad ini. Pragmatisme mulai dirintis di Amerika oleh Charles S. Peirce (1839-1942), yang kemudian dikembangkan oleh William James (1842-1910) dan John Dewey (1859-1952).
Arti umum dari pragmatisme ialah kegunaan, kepraktisan, getting things done. Istilah pragmatisme berasal dari kata Yunani, pragma diartikan sebagai perbuatan atau tindakan dan kata isme yang berarti aliran atau ajaran atau paham. Dengan demikian pragmatisme berarti ajaran yang menekankan bahwa pemikiran itu menuruti tindakan. Kriteria kebenaran dari pragmatisme adalah seberapa besar “faedah” atau “manfaat”. Suatu teori atau hipotesis dianggap oleh pragmatisme benar apabila membawa suatu hasil, dengan kata lain, suatu teori adalah benar if it works (apabila teori tersebut dapat diaplikasikan).
Awalnya pragmatisme lebih merupakan suatu usaha-usaha untuk menyatukan ilmu pengetahuan dan filsafat agar filsafat dapat menjadi ilmiah dan berguna bagi kehidupan praktis manusia. Sehubungan dengan usaha tersebut, pragmatisme akhirnya berkembang menjadi suatu metoda untuk memecahkan berbagai perdebatan filosofis-metafisik yang tiada henti-hentinya, yang hampir mewarnai seluruh perkembangan dan perjalanan filsafat sejak zaman Yunani kuno. Dalam usahanya untuk memecahkan masalah-masalah metafisik yang selalu menjadi pergunjingan berbagai filosofi tulah pragmatisme menemukan suatu metoda yang spesifik, yaitu dengan mencari konsekuensi praktis dari setiap konsep atau gagasan dan pendirian yang dianut masing-masing pihak.
Dalam perkembangannya lebih lanjut, metode tersebut diterapkan dalam setiap bidang kehidupan manusia. Karena pragmatisme adalah suatu filsafat tentang tindakan manusia, maka setiap bidang kehidupan manusia menjadi bidang penerapan dari filsafat yang satu ini. Dan karena metode yang dipakai sangat populer untuk di pakai dalam mengambil keputusan melakukan tindakan tertentu, karena menyangkut pengalaman manusia sendiri. Namun filsafat inl akhirnya menjadi lebih terkenal sebagai suatu metode dalam mengambil keputusan melakukan tindakan tertentu atau yang menyangkut kebijaksanaan tertentu. Lebih dari itu, karena filsafat ini merupakan filsafat yang khas Amerika, ia dikenal sebagaimana suatu model pengambilan keputusan, model bertindak, dan model praktis Amerika.
Bagi kaum pragmatis, untuk mengambil tindakan tertentu, ada dua hal penting. Pertama, ide atau keyakinan yang mendasari keputusan yang harus diambil untuk melakukan tindakan tertentu. Dan yang kedua, tujuan dari tindakan itu sendiri. Keduanya tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan suatu paket tunggal dari metode bertindak yang pragmatis. Pertama-tama manusia memiliki ide atau keyakinan itu yang ingin direalisasikan. Untuk merealisasikan ide atau keyakinan itu, manusia mengambil keputusan yang berisi tindakan tertentu sebagai realisasi ide atau keyakinan tadi. Dalam hal ini, sebagaimana diketahui oleh Peirce, tindakan tersebut tidak dapat diambil lepas dari tujuan tertentu. Dan tujuan itu tidak lain adalah hasil yang akan diperoleh dari tindakan itu sendiri, atau konsekuensi praktis dari adanya tindakan itu.
Menurut Abraham Maslow (1943;1970) manusia melakukan tindakan untuk memenuhi kebutuhannya. Dalam teori hierarki of need menyatakan bahwa pada dasarnya semua manusia memiliki kebutuhan pokok. Ada 5 tingkatan yang berbentuk piramid, setiap orang memulai bertindak untuk memenuhi tingkatan terbawah menuju puncak piramida. Secara garis besar teori Maslow dibagi menjadi dua yaitu kebutuhan dasar dan kebutuhan pertumbuhan. Kebutuhan dasar terdiri dari kecukupan fisiologis, keselamanatan dan keamanan. Sedangkan kebutuhan pertumbuhan terdiri dari keterlibatan dan hubungan sosial, harga diri dan aktualisasi diri.
Dengan piramida yang selama ini dianut banyak orang seluruh dunia, menyebabkan banyak orang menjadi serakah dan tamak sebab kehidupan orang hanya akan mengejar kebutuhan dasar yang terdiri dari fisiologis, keselamatan dan keamanan. Sehingga ketika kebutuhan dasar belum terpenuhi, akan merasa tidak punya kekuatan untuk mengoptimalkan kebutuhan pertumbuhan yang didalamnya ada unsur keterlibatan dan hubungan sosial, harga diri, dan aktualisasi. Bila makanan dan rasa aman sulit diperoleh, pemenuhan kebutuhan tersebut akan mendominasi tindakan seseorang dan motif-motif yang lebih tinggi akan menjadi kurang signifikan. Orang hanya akan mempunyai waktu dan energi untuk menekuni minat estetika dan intelektual, jika kebutuhan dasarnya sudah dapat dipenuhi dengan mudah. Begitu juga demokratisasi dalam kehidupan politik yang tidak akan tumbuh subur dalam masyarakat yang anggotanya masih harus bersusah payah mencari makan, perlindungan, dan rasa aman.
Dalam dunia politik di Indonesia, Orde Baru menganut pragmatisme. Rezim itu tidak peduli dengan nilai. Apa saja dikerjakan oleh rezim itu asal menguntungkan sebuah power politics. Dalam politik, fitnah (Petisi 50), rekayasa isu mendirikan Negara Islam (Hispran akhir 1970-an), Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk menyaingi agama-agama (1978), pembunuhan (Tanjung Priok 1984), dan kampanye anti-Pancasila (1985). Pragmatisme dalam bisnis juga melahirkan kroni dan para konglomerat yang tak peduli dengan Indonesia. Mereka mengisap Indonesia dan membawa hartanya keluar. Nucuk angiberake (mencari makan di sini, membawa keluar). Orde Baru membelanya dengan menyebut mereka justru penganut “nasionalisme baru”.
Bahaya Pragmatisme
Pragmatisme pada akhirnya bersifat destruktif dan menyebabkan inkonsistensi pada penganutnya. Sikap pragmatis cenderung menempuh segala cara untuk mencapai kepentingannya dengan mengabaikan prinsip-prinsip kebenaran. Walhasil, sikap pragmatis ini tidak akan memberikan kontribusi apapun dalam menyelesaikan problematika kehidupan, justru sebaliknya – akan mendatangkan bahaya laten – yang mampu merusak nilai-nilai kebenaran.
Dalam ranah kehidupan publik, pragmatisme politik berarti mereka hanya melihat kepentingan jangka pendek yang menguntungkan diri dan kelompoknya. Bermanfaat atau menguntungkan bukan berarti benar, tetapi hanya sekedar memuaskan hawa nafsu. Di sinilah sikap plin-plan dan tidak punya pendirian sangat kentara. Begitu kemanfaatan jangka pendek hilang, mereka akan mencari kemanfaatan lain. Akibatnya, persoalan utama yang dihadapi masyarakat tidak akan pernah terselesaikan. Lagi-lagi, rakyatlah yang jadi korban. Politik kjemudian hanya sebagai alat untuk melestarikan kepentingan elit politik, bukan untuk rakyat.
Karena itu, sangat wajar jika kemudian ada partai-partai Islam yang rela mengorbankan idealisme Islam demi kepentingan kekuasaan. Suara Islam yang sebelumnya digemakan dalam kampanye lenyap begitu saja saat virus pragmatisme menjangkiti partai tersebut. Deal-deal yang muncul hanyalah siapa memperoleh apa. Perbedaan ideologi, paham, platform, visi, dan misi tidak lagi diperhatikan Partai Islam bisa bergabung dengan partai kufur sekalipun tanpa rasa berdosa dengan dalih sama-sama memperjuangkan perbaikan. Oleh karena itu, sikap pragmatisme politik bisa mencederai agama yang menjadi dasar eksistensi partai-partai Islam.
Contoh sikap partai Islam yang tengah ’kerasukan’ virus ini adalah saat berbicara tentang wanita menjadi presiden. Haramnya wanita menjadi presiden/gubernur/walikota/bupati dipropagandakan untuk mencegah naiknya calon dari lawan politiknya. Namun, saat situasi politik berubah dan tidak ada pilihan lain kecuali wanita, dibuatlah pembenaran-pembenaran untuk menerima wanita sebagai pemimpin. Alasannya sama, yakni kemaslahatan.
Yang lebih buruk lagi, pragmatisme politik partai-partai Islam bisa menimbulkan citra buruk pada Islam itu sendiri dan pada partai Islam yang hakiki yang benar-benar memperjuangkan Islam. Bukan tidak mungkin masyarakat akan semakin skeptis terhadap partai politik Islam dengan menganggap politik Islam itu kotor, buruk, menipu, penuh manipulasi, dan penuh siasat. Kalau ini berlarut-larut, maka akan mendatangkan bahaya bagi upaya upaya menegakkan kembali Islam di muka bumi.
Pesan (Soe Hok Gie)
Hari ini aku lihat kembali
Wajah-wajah halus yang keras
Yang berbicara tentang kemerdekaaan
Dan demokrasi
Dan bercita-cita
Menggulingkan tiran
Aku mengenali mereka
yang tanpa tentara
mau berperang melawan diktator
dan yang tanpa uang
mau memberantas korupsi
Kawan-kawan
Kuberikan padamu cintaku
Dan maukah kau berjabat tangan
Selalu dalam hidup ini?
Sumber :
  1. Menuju Pragmatisme Religius, Kuntowijoyo
  2. Pragmatisme Politik, Ahmad Heriyawan
  3. Pragmatisme, Dakwah Kampus
  4. Dekonstuksi Pragmatisme, Rangga S
  5. Rasionalitas dan Moralitas Politik, Rum Rosyid
  6. *Sumber Gambar

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar