Setiap pilihan ide atau tindakan manusia didasari oleh sebuah motivasi. Motivasi merupakan satu penggerak dari dalam hati seseorang untuk melakukan atau mencapai sesuatu tujuan. Motivasi juga bisa dikatakan sebagai rencana atau keinginan untuk menuju kesuksesan dan menghindari kegagalan hidup. Dengan kata lain motivasi adalah sebuah proses untuk tercapainya suatu tujuan, seseorang yang mempunyai motivasi berarti ia telah mempunyai kekuatan untuk memperoleh kesuksesan dalam kehidupan.
Pragmatisme
Abad
ke-19 menghasilkan tokoh-tokoh pemikir, di antaranya ialah Karl Marx
(1818-1883) di kontinen Eropa dan William James (1842-1910) di kontinen
Amerika. Kedua pemikir itu mengklaim telah menemukan kebenaran. Marx,
yang terpengaruh positivisme, melahirkan sosialisme dan James, seorang
relativis, melahirkan pragmatisme. Baik sosialisme maupun pragmatisme
dimaksudkan supaya kemanusiaan dapat menghadapi masalah besar, yaitu
industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi.
Pragmatisme adalah aliran pemikiran yang
memandang bahwa benar tidaknya suatu ucapan, dalil, atau teori,
semata-mata bergantung kepada berfaedah atau tidaknya ucapan, dalil,
atau teori tersebut bagi manusia untuk bertindak dalam kehidupannya. Ide
ini merupakan budaya dan tradisi berpikir Amerika khususnya dan Barat
pada umumnya, yang lahir sebagaiŲ¢ sebuah upaya intelektual untuk
menjawab problem-problem yang terjadi pada awal abad ini. Pragmatisme
mulai dirintis di Amerika oleh Charles S. Peirce (1839-1942), yang
kemudian dikembangkan oleh William James (1842-1910) dan John Dewey
(1859-1952).
Arti umum dari pragmatisme ialah kegunaan, kepraktisan, getting things done. Istilah pragmatisme berasal dari kata Yunani, pragma
diartikan sebagai perbuatan atau tindakan dan kata isme yang berarti
aliran atau ajaran atau paham. Dengan demikian pragmatisme berarti
ajaran yang menekankan bahwa pemikiran itu menuruti tindakan. Kriteria
kebenaran dari pragmatisme adalah seberapa besar “faedah” atau
“manfaat”. Suatu teori atau hipotesis dianggap oleh pragmatisme benar
apabila membawa suatu hasil, dengan kata lain, suatu teori adalah benar if it works (apabila teori tersebut dapat diaplikasikan).
Awalnya
pragmatisme lebih merupakan suatu usaha-usaha untuk menyatukan ilmu
pengetahuan dan filsafat agar filsafat dapat menjadi ilmiah dan berguna
bagi kehidupan praktis manusia. Sehubungan dengan usaha tersebut,
pragmatisme akhirnya berkembang menjadi suatu metoda untuk memecahkan
berbagai perdebatan filosofis-metafisik yang tiada henti-hentinya, yang
hampir mewarnai seluruh perkembangan dan perjalanan filsafat sejak zaman
Yunani kuno. Dalam usahanya untuk memecahkan masalah-masalah metafisik
yang selalu menjadi pergunjingan berbagai filosofi tulah pragmatisme
menemukan suatu metoda yang spesifik, yaitu dengan mencari konsekuensi
praktis dari setiap konsep atau gagasan dan pendirian yang dianut
masing-masing pihak.
Dalam perkembangannya lebih lanjut,
metode tersebut diterapkan dalam setiap bidang kehidupan manusia. Karena
pragmatisme adalah suatu filsafat tentang tindakan manusia, maka setiap
bidang kehidupan manusia menjadi bidang penerapan dari filsafat yang
satu ini. Dan karena metode yang dipakai sangat populer untuk di pakai
dalam mengambil keputusan melakukan tindakan tertentu, karena menyangkut
pengalaman manusia sendiri. Namun filsafat inl akhirnya menjadi lebih
terkenal sebagai suatu metode dalam mengambil keputusan melakukan
tindakan tertentu atau yang menyangkut kebijaksanaan tertentu. Lebih
dari itu, karena filsafat ini merupakan filsafat yang khas Amerika, ia
dikenal sebagaimana suatu model pengambilan keputusan, model bertindak,
dan model praktis Amerika.
Bagi kaum pragmatis, untuk mengambil
tindakan tertentu, ada dua hal penting. Pertama, ide atau keyakinan yang
mendasari keputusan yang harus diambil untuk melakukan tindakan
tertentu. Dan yang kedua, tujuan dari tindakan itu sendiri. Keduanya
tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan suatu paket tunggal dari
metode bertindak yang pragmatis. Pertama-tama manusia memiliki ide atau
keyakinan itu yang ingin direalisasikan. Untuk merealisasikan ide atau
keyakinan itu, manusia mengambil keputusan yang berisi tindakan tertentu
sebagai realisasi ide atau keyakinan tadi. Dalam hal ini, sebagaimana
diketahui oleh Peirce, tindakan tersebut tidak dapat diambil lepas dari
tujuan tertentu. Dan tujuan itu tidak lain adalah hasil yang akan
diperoleh dari tindakan itu sendiri, atau konsekuensi praktis dari
adanya tindakan itu.
Menurut Abraham Maslow (1943;1970)
manusia melakukan tindakan untuk memenuhi kebutuhannya. Dalam teori
hierarki of need menyatakan bahwa pada dasarnya semua manusia memiliki
kebutuhan pokok. Ada 5 tingkatan yang berbentuk piramid, setiap orang
memulai bertindak untuk memenuhi tingkatan terbawah menuju puncak
piramida. Secara garis besar teori Maslow dibagi menjadi dua yaitu
kebutuhan dasar dan kebutuhan pertumbuhan. Kebutuhan dasar terdiri dari
kecukupan fisiologis, keselamanatan dan keamanan. Sedangkan kebutuhan
pertumbuhan terdiri dari keterlibatan dan hubungan sosial, harga diri
dan aktualisasi diri.
Dengan piramida yang selama ini dianut
banyak orang seluruh dunia, menyebabkan banyak orang menjadi serakah dan
tamak sebab kehidupan orang hanya akan mengejar kebutuhan dasar yang
terdiri dari fisiologis, keselamatan dan keamanan. Sehingga ketika
kebutuhan dasar belum terpenuhi, akan merasa tidak punya kekuatan untuk
mengoptimalkan kebutuhan pertumbuhan yang didalamnya ada unsur
keterlibatan dan hubungan sosial, harga diri, dan aktualisasi. Bila
makanan dan rasa aman sulit diperoleh, pemenuhan kebutuhan tersebut akan
mendominasi tindakan seseorang dan motif-motif yang lebih tinggi akan
menjadi kurang signifikan. Orang hanya akan mempunyai waktu dan energi
untuk menekuni minat estetika dan intelektual, jika kebutuhan dasarnya
sudah dapat dipenuhi dengan mudah. Begitu juga demokratisasi dalam
kehidupan politik yang tidak akan tumbuh subur dalam masyarakat yang
anggotanya masih harus bersusah payah mencari makan, perlindungan, dan
rasa aman.
Dalam dunia politik di Indonesia, Orde Baru menganut pragmatisme. Rezim itu tidak peduli dengan nilai. Apa saja dikerjakan oleh rezim itu asal menguntungkan sebuah power politics.
Dalam politik, fitnah (Petisi 50), rekayasa isu mendirikan Negara Islam
(Hispran akhir 1970-an), Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk
menyaingi agama-agama (1978), pembunuhan (Tanjung Priok 1984), dan
kampanye anti-Pancasila (1985). Pragmatisme dalam bisnis juga melahirkan
kroni dan para konglomerat yang tak peduli dengan Indonesia. Mereka
mengisap Indonesia dan membawa hartanya keluar. Nucuk angiberake
(mencari makan di sini, membawa keluar). Orde Baru membelanya dengan
menyebut mereka justru penganut “nasionalisme baru”.
Bahaya Pragmatisme
Pragmatisme pada akhirnya bersifat
destruktif dan menyebabkan inkonsistensi pada penganutnya. Sikap
pragmatis cenderung menempuh segala cara untuk mencapai kepentingannya
dengan mengabaikan prinsip-prinsip kebenaran. Walhasil, sikap pragmatis
ini tidak akan memberikan kontribusi apapun dalam menyelesaikan
problematika kehidupan, justru sebaliknya – akan mendatangkan bahaya
laten – yang mampu merusak nilai-nilai kebenaran.
Dalam ranah kehidupan publik, pragmatisme
politik berarti mereka hanya melihat kepentingan jangka pendek yang
menguntungkan diri dan kelompoknya. Bermanfaat atau menguntungkan bukan
berarti benar, tetapi hanya sekedar memuaskan hawa nafsu. Di sinilah
sikap plin-plan dan tidak punya pendirian sangat kentara. Begitu
kemanfaatan jangka pendek hilang, mereka akan mencari kemanfaatan lain.
Akibatnya, persoalan utama yang dihadapi masyarakat tidak akan pernah
terselesaikan. Lagi-lagi, rakyatlah yang jadi korban. Politik kjemudian
hanya sebagai alat untuk melestarikan kepentingan elit politik, bukan
untuk rakyat.
Karena itu, sangat wajar jika kemudian
ada partai-partai Islam yang rela mengorbankan idealisme Islam demi
kepentingan kekuasaan. Suara Islam yang sebelumnya digemakan dalam
kampanye lenyap begitu saja saat virus pragmatisme menjangkiti partai
tersebut. Deal-deal yang muncul hanyalah siapa memperoleh apa. Perbedaan
ideologi, paham, platform, visi, dan misi tidak lagi diperhatikan
Partai Islam bisa bergabung dengan partai kufur sekalipun tanpa rasa
berdosa dengan dalih sama-sama memperjuangkan perbaikan. Oleh karena
itu, sikap pragmatisme politik bisa mencederai agama yang menjadi dasar
eksistensi partai-partai Islam.
Contoh sikap partai Islam yang tengah
’kerasukan’ virus ini adalah saat berbicara tentang wanita menjadi
presiden. Haramnya wanita menjadi presiden/gubernur/walikota/bupati
dipropagandakan untuk mencegah naiknya calon dari lawan politiknya.
Namun, saat situasi politik berubah dan tidak ada pilihan lain kecuali
wanita, dibuatlah pembenaran-pembenaran untuk menerima wanita sebagai
pemimpin. Alasannya sama, yakni kemaslahatan.
Yang lebih buruk lagi, pragmatisme
politik partai-partai Islam bisa menimbulkan citra buruk pada Islam itu
sendiri dan pada partai Islam yang hakiki yang benar-benar
memperjuangkan Islam. Bukan tidak mungkin masyarakat akan semakin
skeptis terhadap partai politik Islam dengan menganggap politik Islam
itu kotor, buruk, menipu, penuh manipulasi, dan penuh siasat. Kalau ini
berlarut-larut, maka akan mendatangkan bahaya bagi upaya upaya
menegakkan kembali Islam di muka bumi.
Pesan (Soe Hok Gie)Hari ini aku lihat kembali
Wajah-wajah halus yang keras
Yang berbicara tentang kemerdekaaan
Dan demokrasi
Dan bercita-cita
Menggulingkan tiran
Aku mengenali mereka
yang tanpa tentara
mau berperang melawan diktator
dan yang tanpa uang
mau memberantas korupsi
Kawan-kawan
Kuberikan padamu cintaku
Dan maukah kau berjabat tangan
Selalu dalam hidup ini?
Sumber :
- Menuju Pragmatisme Religius, Kuntowijoyo
- Pragmatisme Politik, Ahmad Heriyawan
- Pragmatisme, Dakwah Kampus
- Dekonstuksi Pragmatisme, Rangga S
- Rasionalitas dan Moralitas Politik, Rum Rosyid
- *Sumber Gambar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar