Senin, 07 Desember 2015

Buramnya Wajah Pendidikan Indonesia



Pendidikan di Indonesia telah berlangsung selama bertahun-tahun sejak negara ini merdeka. Bermula sejak berdirinya Perguruan Taman Siswa yang didirikan Ki Hajar Dewantara dengan slogannya Tut Wuri Handayani.
Sekolah-sekolah negeri maupun swasta menjadi sarana dalam mewujudkan tujuan program pendidikan nasional. Tetapi sayang, keberhasilan dalam pertumbuhan dunia pendidikan di negara kita tidak diimbangi dengan keberhasilan dalam pendidikan moral dan nilai-nilai pribadi yang luhur. Berita-berita di media massa semakin hari semakin mengaburkan makna pendidikan selama ini. Para pejabat korupsi, pelajar  tawuran. Itu hanya sebagian kecilnya saja, belum tayangan sinetron dan infotaiment yang kurang mendidik.
Pendidikan, baik formal maupun informal, memiliki tujuan yang sama, mencerdaskan kehidupan bangsa. Jadi apa yang salah selama ini? Sistem kah atau kurikulum yang kerap bongkar-pasang? Guru atau tenaga pendidik yang kurang kompeten? Di mana ruh pendidikan selama ini?
Pendidikan telah kehilangan ruh, pendidikan telah kehilangan peran vital dalam melakukan transformasi sosial. Inilah yang coba dipaparkan secara singkat dalam halaman pembuka buku. Pendidikan telah mendapatkan stigma karena malpraktik yang dilakukan oleh penguasa dan pelaksana pendidikan di lapangan. Betapa tidak, banyak kasus negatif yang dilakukan institusi pendidikan.
Mulai dari pemotongan uang operasional dari Depdikbud hingga sampai ke tangan sekolah. Dan hal yang paling terkini adalah melambungnya dana rancangan kurikulum 2013, semula kemendikbud dan pemerintah setuju dengan dana 684,4 miliar. Tapi dengan sangat tiba-tiba, Mendikbud berucap kebutuhan dana untuk pembentukan kurikilum baru sebesar Rp 2,49 triliun. Hal ini mengindikasikan lagi-lagi akan terjadi penyelewengan dana dari korps pendidikan.
Dengan adanya contoh seperti ini, terlihat institusi pendidikan yang seharusnya memanusiakan manusia justru malah memberi contoh yang tidak manusiawi. Bagian demi bagian dalam buku ini merupakan realitas yang selama ini terjadi dalam praktek pendidikan di Indonesia. Mulai dari proses yang terjadi pada peserta didik di sekolah, praktek mengajar guru, sampai pada arah pengambilan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah.
Gugatan demi gugatan merupakan sajian utama buku ini. Beberapa kritik tajam juga menyeruak seolah mencerminkan sebuah euforia pasca reformasi. Dewasa ini banyak yang menuntut pemerintah benar-benar merealisasikan anggaran pendidikan 20% dari APBN. Lantas, jika pemenuhan itu direalisasikan mau apa? Mengingat kondisi geogarfis Indonesia yang berbeda-beda kebutuhannya dipikir ini sangat tidak cocok.
Semisal, pengadaan alat proyektor di sekolah-sekolah tapi ada beberapa daerah yang masih belum dialiri listrik. Ini benar-benar terjadi di Indonesia terutama bagian timur Indonesia. Hal ini benar-benar mubazir. Alangkah lebih tepat bila pemerintah melakukan dialog partisipatoris untuk memenuhi apa yang benar-benar dibutuhkan suatu daerah untuk memajukan pendidikan di daerahnya.
Sebagai seorang praktisi pendidikan dari Taman Siswa, Darmaningtyas banyak menyoroti malpraktik yang dilakukan oleh penguasa negeri ini. Praktek-praktek pada arah kebijakan pendidikan yang selama ini terjadi di indonesia marak terjadi pasca bergulirnya era otonomi daerah. Dengan adanya desentralisasi dalam bidang-bidang yang telah ditentukan pemerintah, budaya korupsi pun tak ayal ikut terdesentralisasi pula ke daerah-daerah yang dulunnya enggan dan takut melakukan tindakan-tindakan penyelewengan. Dalam kolusi sekarang ini, tawar menawar jabatan guru dilakukan secara terang-terangan antara calon guru dengan aparat pemerintah daerah.
Entah ada koordinasi antar daerah atau tidak, yang pasti, ada semacam keseragaman tarif untuk dapat diterima menjadi seorang guru negeri. Untuk menjadi guru SD misalnya, tarifnya antara Rp. 10.000.000-Rp. 20.000.000 sedangkan untuk guru SLTP, karena dasar pendidikannya sama-sama S1, tarifnya antara Rp. 20.000.000.-Rp.40.000.000. (halaman 84).Pendidikan, kata Darmaningtyas, bukanlah sekedar anggaran. Alih-alih menganggarkan dana untuk pendidikan dengan alokasi yang sesuai dengan kebutuhan. Pemerintah lebih disibukkan dengan permasalahan persiapan “baku hantam” dengan rival politiknya. Padahal dalam pasal 31 UUD 1945 pemerintah menjamin seluruh kegiatan pendidikan untuk rakyat Indonesia.
Dengan melihat realitas yang terjadi di Indonesia, kita bisa mengatakan bahwa pemerintah mengkhianati konstitusi dengan tidak menjalankan amanat UUD 1945. Sesuai dengan judulnya, konten buku ini memang lebih banyak mengungkapkan penyelewengan-penyelewengan yang terjadi dalam pendidikan Indonesia. Banyak fakta-fakta yang diungkapkan secara jelas dan lugas. Buku ini bukanlah pemikiran utuh dari si penulis berkenaan dengan pendidikan, namun kumpulan artikel yang pernah ditulis di pelbagai media massa. Tulisan ini cukup bagus untuk dijadikan refleksi bagi semua orang yang berkecimpung dan menggeluti pendidikan terutama kampus bekas IKIP seperti UNJ ini. Buku ini juga memaparkan sangat dominannya akan kegiatan agama mayoritas Indonesia (baca islam) di sekolah, hingga memunculkan tindakan diskriminatif dikehidupan sehari-hari baik di sekolah maupun di masyarakat.  Sudah barang tentu akan  membahayakan keragaman beragama yang ada di Indonesia. http://www.didaktikaunj.com/2013/03/buramnya-wajah-pendidikan-indonesia/

Wajah Pendidikan Indonesia

Guru, elemen yang terlupakan

Pendidikan Indonesia selalu gembar-gembor tentang kurikulum baru…yang katanya lebih oke lah, lebih tepat sasaran, lebih kebarat-baratan…atau apapun. Yang jelas, menteri pendidikan berusaha eksis dengan mengujicobakan formula pendidikan baru dengan mengubah kurikulum.
Di balik perubahan kurikulum yang terus-menerus, yang kadang kita gak ngeh apa maksudnya, ada elemen yang benar-benar terlupakan…Yaitu guru! Ya, guru di Indonesia hanya 60% yang layak mengajar…sisanya, masih perlu pembenahan. Kenapa hal itu terjadi? Tak lain tak bukan karena kurang pelatihan skill, kurangnya pembinaan terhadap kurikulum baru, dan kurangnya gaji. Masih banyak guru honorer yang kembang kempis ngurusin asap dapur rumahnya agar terus menyala.
Guru, digugu dan ditiru….Masihkah? atau hanya slogan klise yang sudah kuno. Murid saja sedikit yang menghargai gurunya…sedemikian juga pemerintah. banyak yang memandang rendah terhadap guru, sehingga orang pun tidak termotivasi menjadi guru. Padahal, tanpa sosok Oemar Bakri ini, tak bakal ada yang namanya Habibi.

SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL: Benarkah untuk Mencerdaskan Bangsa?

Hari Pendidikan Nasional yang diperingati pada tanggal 2 Mei setiap tahunnya telah menjadi momentum untuk memperingatkan segenap negeri akan pentingnya arti pendidikan bagi anak negeri yang sangat kaya ini. Di tahun 2003, telah dilahirkan pula Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional melalui UU No. 20 tahun 2003 yang menggantikan UU No. 2 tahun 1989. Tersurat jelas dalam UU tersebut bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan.
Bila merujuk pada Undang-Undang Dasar 1945, tersebutkan dalam pasal 31 ayat 1 bahwa setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan dan pada ayat 2 disebutkan bahwa setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Dan dalam UU No. 20/2003 pasal 5, bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus, warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus, warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus serta setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat.
Peran masyarakat dalam pendidikan nasional, terutama keterlibatan di dalam perencanaan hingga evaluasi masih dipandang sebagai sebuah kotak keterlibatan pasif. Inisiatif aktif masyarakat masih dipandang sebagai hal yang tidak dianggap penting. Padahal secara jelas di dalam pasal 8 UU No. 20/2003 disebutkan bahwa masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi program pendidikan. Peran serta masyarakat saat ini hanyalah dalam bentuk Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, dimana proses pembentukan komite sekolahpun belum keseluruhannya dilakukan dengan proses yang terbuka dan partisipatif.
Kewajiban pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan dasar pun hingga saat ini masih sangat jauh dari yang diharapkan. Masih terlalu banyak penduduk Indonesia yang belum tersentuh pendidikan. Selain itu, layanan pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan bermutu pun masih hanya di dalam angan. Lebih jauh, anggaran untuk pendidikan (di luar gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan) di dalam APBN maupun APBD hingga saat ini masih dibawah 20% sebagaimana amanat pasal 31 ayat 4 UUD 1945 dan pasal 49 UU No. 20/2003, bahkan hingga saat ini hanya berkisar diantara 2-5%.
Bila melihat peristiwa yang belum lama terjadi di Indonesia, misalnya kasus tukar guling SMP Negeri 56 Jakarta serta kasus Kampar adalah sebongkah cerminan dari kondisi pendidikan di Indonesia, dimana kalangan pendidik dan kepentingan pendidikan masihlah sangat jauh dari sebuah kepentingan dan kebutuhan bersama, dimana pendidikan masih menjadi korban dari penguasa.
Sementara di berbagai daerah, pendidikan pun masih berada dalam kondisi keprihatinan. Mulai dari kekurangan tenaga pengajar, fasilitas pendidikan hingga sukarnya masyarakat untuk mengikuti pendidikan karena permasalahan ekonomi dan kebutuhan hidup. Pada beberapa wilayah, anak-anak yang memiliki keinginan untuk bersekolah harus membantu keluarga untuk mencukupi kebutuhan hidup karena semakin sukarnya akses masyarakat terhadap sumber kehidupan mereka.
Belum lagi bila berbicara pada kualitas pendidikan Indonesia yang hanya berorientasi pada pembunuhan kreatifitas berpikir dan berkarya serta hanya menciptakan pekerja. Kurikulum yang ada dalam sistem pendidikan Indonesia saat ini sangat membuat peserta didik menjadi pintar namun tidak menjadi cerdas. Pembunuhan kreatifitas ini disebabkan pula karena paradigma pemerintah Indonesia yang mengarahkan masyarakatnya pada penciptaan tenaga kerja untuk pemenuhan kebutuhan industri yang sedang gencar-gencarnya ditumbuhsuburkan di Indonesia.
Sistem pendidikan nasional yang telah berlangsung hingga saat ini masih cenderung mengeksploitasi pemikiran peserta didik. Indikator yang dipergunakanpun cenderung menggunakan indikator kepintaran, sehingga secara nilai di dalam rapor maupun ijasah tidak serta merta menunjukkan peserta didik akan mampu bersaing maupun bertahan di tengah gencarnya industrialisasi yang berlangsung saat ini.
Pendidikan juga saat ini telah menjadi sebuah industri. Bukan lagi sebagai sebuah upaya pembangkitan kesadaran kritis. Hal ini mengakibatkan terjadinya praktek jual-beli gelar, jual-beli ijasah hingga jual-beli nilai. Belum lagi diakibatkan kurangnya dukungan pemerintah terhadap kebutuhan tempat belajar, telah menjadikan tumbuhnya bisnis-bisnis pendidikan yang mau tidak mau semakin membuat rakyat yang tidak mampu semakin terpuruk. Pendidikan hanyalah bagi mereka yang telah memiliki ekonomi yang kuat, sedangkan bagi kalangan miskin, pendidikan hanyalah sebuah mimpi. Ironinya, ketika ada inisiatif untuk membangun wadah-wadah pendidikan alternatif, sebagian besar dipandang sebagai upaya membangun pemberontakan.
Dunia pendidikan sebagai ruang bagi peningkatan kapasitas anak bangsa haruslah dimulai dengan sebuah cara pandang bahwa pendidikan adalah bagian untuk mengembangkan potensi, daya pikir dan daya nalar serta pengembangan kreatifitas yang dimiliki. Sistem pendidikan yang mengebiri ketiga hal tersebut hanyalah akan menciptakan keterpurukan sumberdaya manusia yang dimiliki bangsa ini yang hanya akan menjadikan Indonesia tetap terjajah dan tetap di bawah ketiak bangsa asing.
Hal yang tidak kalah penting adalah bagaimana sistem pendidikan di Indonesia menciptakan anak bangsa yang memiliki sensitifitas terhadap lingkungan hidup dan krisis sumber-sumber kehidupan, serta mendorong terjadinya sebuah kebersamaan dalam keadilan hak. Sistem pendidikan harus lebih ditujukan agar terjadi keseimbangan terhadap ketersediaan sumberdaya alam serta kepentingan-kepentingan ekonomi dengan tidak meninggalkan sistem sosial dan budaya yang telah dimiliki oleh bangsa Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar