“wal tandzur nafsun maa qaddamat lighad”
(Perhatikanlah sejarahmu, untuk masa depanmu)(Q.S 59:18).
Secara terminologis, kata ‘sejarah’ diambil dari bahasa Arab, ‘syajaratun[1]’ yang
berarti pohon. Secara istilah, kata ini memberikan gambaran sebuah
pertumbuhan peradaban manusia dengan perlambang ‘pohon’. Yang tumbuh
bermula dari biji yang kecil menjadi pohon yang lebat rindang dan
berkesinambungan.
Maka sesungguhnya, dari petunjuk Al
Qur’an, pengertian “syajarah” berkaitan erat dengan “perubahan”.
Perubahan yang bermakna “gerak” kehidupan manusia dalam menerima dan
menjalankan fungsinya sebagai “khalifah” (Q.S. 2: 30). Maka tugas hidup
manusia dimuka bumi adalah :” menciptakan perubahan sejarah” (khalifah).
Oleh karena itu, untuk dapat menangkap
pelajaran dari pesan-pesan sejarah di dalamnya, memerlukan kemampuan
menangkap yang tersirat sebagai ibarat atau ibrah di dalamnya. Seperti yang tersurat dalam Q.S. 12: 111, “laqad kana fi qashasihim ‘ibratun li ulil albab”. Sesungguhnya dalam sejarah itu terdapat pesan-pesan sejarah yang penuh perlambang, bagi orang-orang yang memahaminya.
Dua pertiga
Al-Qur’an disajikan dalam bentuk kisah. Al-Qur’an dan Al-Hadits ini
merupakan pedoman hidup bagi manusia. Dengan demikian, betapa
berkepentingannya kita terhadap kajian-kajian kesejarahan dalam kedua
sumber tersebut. Menangkap pesan-pesan sejarah untuk menciptakan
sejarah, untuk mengetahui “pohon sejarah” apa yang sedang dibuat. “Kasyajaratin thayyibah”
pohon sejarah yang sukses dengan fondasi akar yang kuat, batang yang
menjulang dan ranting yang merindang serta buah sejarah yang bisa
dinikmati sepanjang musim. “Kasyajaratin khabisyah” pohon sejarah yang rapuh, akar yang tercabut dari bumi, tidak ajeg dalam hidup yang akhirnya mudah runtuh dan rubuh.
Ketika petunjuk Allah digunakan sebagai
pedoman, ia diibaratkan sebagai “pelita kaca” yang bercahaya seperti
mutiara dan dinyalakan dengan bahan bakar min syajaratin mubarakah (Q.S.
24: 35). Lihatlah sejarah Nabi Musa yang diibaratkan sebagai pohon yang
tinggi dan tumbuh di tempat yang tinggi (Q.S. 28: 30). Sebaliknya,
Al-Qur’an juga memberikan gambaran kegagalan Nabi Yunus yang dilukiskan
sebagai “pohon labu” yang rendah dan lemah (Q.S. 37: 146). Sementara
bagi yang mencoba menciptakan sejarah dengan menjauhkan dirinya dari
petunjuk Allah, hasilnya hanyalah akan menumbuhkan sebatang “pohon
pahit” (Q.S. 37: 62, 64 dan Q.S. 44: 43).
Mengapa Allah memberikan rumusan, untuk
memperoleh masa depan, harus menoleh kemasa lalu? Ada apa kisah dalam
sejarah dalam Al-Quran dapat digunakan sebagai pedoman “Mengubah
Sejarah” ditempat berbeda, dan waktu yang tidak sama? Sejarah memberikan
Mau’idzah (pelajaran) yang membuat umat Islam dzikra (sadar) sebagai
actor sejarah, untuk menciptakan sejarah yang benar.
Dan semua kisah dari Rasul-rasul Kami
ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan
hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta
pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman. (Q.S 11: 120)
Pohon kehidupan di muka bumi ini telah
Allah tanam sejak Allah menciptakan Adam a.s dan Ibnu Adam
(keturunannya) untuk mengemban amanah penegakan kekuasaan Allah di bumi
sebagai Khalifah Allah, wakil atau mandataris Allah. Inilah pohon
kehidupan yang dikehendaki oleh Sang Maha Pencipta Raja seluruh Alam
semesta. Pohon “Kasyajaratin thayyibah”.
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.”
mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi
itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah,
padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan
Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui.” (Qs. Al-Baqarah (2) : 30)
Menurut Al-Qur’an paling tidak ada empat fungsi sejarah yang terangkum dalam q.s. 11/120 :
Ke-empat fungsi itu, yaitu :Dan semua kisah rasul-rasul, kami ceritakan kepadamu (Muhammad), agar dengan kisah itu Kami teguhkan hatimu; dan di dalamnya telah diberikan kepadamu (segala) kebenaran, nasihat (pelajaran) dan peringatan bagi orang yang beriman. (QS Hûd : 120)
- Sejarah berfungsi sebagai peneguh hati
Dalam bahasa
Al-Qur’an Allah menegaskan bahwa Allah telah berjanji kepada orang-orang
yang beriman dan beramal sholeh bahwa Allah akan menjadikan mereka
sebagai penguasa di muka bumi, Allah akan meneguhkan dien yang
diridhoinya, dan mengganti rasa takut dengan rasa aman. Semuanya
tercantum dalam QS an-Nûr ayat 55 sebagai berikut :
Allah telah
menjanjikan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan
mengerjakan kebajikan bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka
berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang
sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka
agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka. Dan Dia benar-benar akan
mengubah (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman
sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan
sesuatu apapun dengan aku. dan Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah
(janji) itu, maka mereka Itulah orang-orang yang fasik.
2. Sejarah berfungsi sebagai pengajaran
Sejarah merupakan pendidikan (Ma’uidzah) Allah terhadap kaum
muslimin, sebagai peringatan dalam menjalani sunnah Rasul. Pelajaran
yang Allah berikan dengan tujuan melahirkan sosok ummat yang memiliki
kualitas mu’min, mujahid, istiqomah, shalihun dan shabirun. Ummat yang
memiliki kualitas seperti ini baru bisa diperoleh melalui interaksi dan
keterlibatan diri secara langsung dalam harakah perjuangan secara total.
Dalam surat al-A’râf ayat 176, Allah swt berfirman yang artinya sebagai berikut :
Dan kalau Kami menghendaki,
sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi
dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah,
maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya
lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga).
demikian Itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami.
Maka Ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.
Dengan sejarah umat Islam dituntut untuk berfikir (QS al-A’râf :
176) dalam arti menjadikan sejarah sebagai pelajaran dan peringatan
untuk menentukan langkah berikutnya dari suatu kesinambungan risalah
dalam menggapai tujuan li ‘ila kalimatillâh.
3. Sejarah berfungsi sebagai peringatan
Selain menjelaskan
fungsi sejarah, Al-Qur’an juga menegaskan tentang akhir dari perjalanan
sejarah. Menurut Al-Qur’an nasib akhir sejarah adalah kemenangan
keimanan atas kekafiran, kebajikan atas kemunkaran, kenyataan ini
merupakan satu janji dari Allah swt yang mesti terjadi.
Sejarah juga mempunyai fungsi sebagai Nakala, yaitu
peringatan terhadap generasi berikutnya melalui peristiwa yang yang
menimpa generasi sebelumhya. Misal Allah menyiksa ummat dan para
pelanggar ketentuan Allah (Qs. 2:66 ; 4 : 84)
Sejarah tidak akan berfungsi kalau tidak dihayati serta dipahami akan makna dan nilai dari setiap peristiwa sejarah. Banyak ayat al-Qur’an yang memerintahkan untuk melakukan penelitian (tandzirun) terhadap peristiwa sejarah. (Qs. 47 : 10 ; 12 : 109; 12 :46). Melalui pengkajian sejarah maka tidak akan ada setiap peristiwa besar atau kecil menjadi sia-sia tanpa tujuan. Aktifitas tandzirun tidak akan melahirkan zikra (peringatan), jika tidak dilandasi tadabbur (membaca ayat Kalamiyah Al-Qur’an).
Perjalanan suatu peristiwa sejarah ini tiada lain adalah sebagai ibadah kepada Allah dengan melaksanakan misi Ilahi yang diembankan kepada kita; sebagai jalan untuk menghantarkan kita pada tujuan tertinggi dalam kehidupan ini yakni tercapainya Rahmat dan Mardhatillah fi ad-dunya wa al-akhirah (Qs. 9 : 72)
Sejarah tidak akan berfungsi kalau tidak dihayati serta dipahami akan makna dan nilai dari setiap peristiwa sejarah. Banyak ayat al-Qur’an yang memerintahkan untuk melakukan penelitian (tandzirun) terhadap peristiwa sejarah. (Qs. 47 : 10 ; 12 : 109; 12 :46). Melalui pengkajian sejarah maka tidak akan ada setiap peristiwa besar atau kecil menjadi sia-sia tanpa tujuan. Aktifitas tandzirun tidak akan melahirkan zikra (peringatan), jika tidak dilandasi tadabbur (membaca ayat Kalamiyah Al-Qur’an).
Perjalanan suatu peristiwa sejarah ini tiada lain adalah sebagai ibadah kepada Allah dengan melaksanakan misi Ilahi yang diembankan kepada kita; sebagai jalan untuk menghantarkan kita pada tujuan tertinggi dalam kehidupan ini yakni tercapainya Rahmat dan Mardhatillah fi ad-dunya wa al-akhirah (Qs. 9 : 72)
4. Sejarah sebagai sumber kebenaran
Manusia selalu bertanya
tentang siapa sebenarnya dirinya sendiri itu, berasal dari mana, harus
menjalankan apa, dan akan kemana arah kehidupan ini.
Pertanyaan-pertanyaan semacam itu telah terjawab secara jelas melalui
kitab suci Al-Qur’an.
Sebagai hudan,
artinya sejarah memberi petunjuk arah bagi manusia. Orang yang memahami
sejarah akan mengerti bahwa kehidupan ini dimulai dari mana, bagaimana
menjalani hidup yang sebenarnya dan akan kemana perjalanan hidup ini
berakhir. Jadi sejarah akan menerangi setiap langkah yang telah, sedang
dan akan dijalani (Qs. 4 : 137-138 ; 12 : 111)
Sejarah sebagai tashdiq (membenarkan,
meneguhkan), maksudnya sejarah menjadi legalitas (landasan kebenaran).
Landasan kebenaran sejarah hari ini diukur dari peristiwa sejarah masa
lalu; apakah ada kesinambungan dan kesesuaian antara sejarah hari ini
dengan sejarah ummat masa lalu. Kesinambungan utama adalah : tidak
terputusnya misi tauhid dan adanya kesamaan visi dan misi ideologi yang diperjuangkan dan ditegakan.
Sejarah merupakan wujud dari curahan
kasih sayang dan kecintaan Allah yang dikaruniakan kepada hamba-Nya,
yang melibatkan diri dalam proses sejarah (harakah Islamiyah). Disitulah
akan dapat merasakan bagaimana rahmaniyyah dan rahimiyyah-Nya. (Qs. 4 :
95-96; 3 : 159). Rahmat ini hanya diberikan kepada hamba-hamba
pilihan-Nya yakni mereka yang beriman, berhijrah dan berjihad
fisabilillah (Qs. 2 : 218 dan 157). Mereka disebut sebagai golongan yang
mendapat nikmat Allah (Qs. 1 : 7 ; 4 : 69).
Dan Barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, Yaitu: Nabi-nabi, Para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. dan mereka Itulah teman yang sebaik-baiknya. (Qs. 4 : 69)
[1] Dalam Al-Qur’an peristiwa sejarah ini lebih dikaitkan dengan masalah pemaknaan “syajarah”.
Al-Baqarah: 23, “wa la taqraba hadzihi syajarah.”
Al-A’raf: 10, “wa la taqraba hadzihi syajarah.”
Al-A’raf: 22, “alam anhakuma ‘an tilkumasy syajarah.”
Ibrahim: 24, “masalan kalimatan thayibatan kasyajaratin thayyibah.”
Ibrahim: 26, “wa mansyalatu kalimatin khabisyatin kasyajaratin khabisyah.”
Al-Isra: 60, “syajaratul mal’unah.”
Thaha: 120, “ya adamu hal adulluka ‘ala syajaratil khuldi.”
Al-Mu’minun: 20, “wa syajaratan takhruju min thurisaina.”
An-Nur: 35, “min syajaratin mubarakah.”
Al-Qashash: 30, “fi buq’atil mubarakati minasy syajarati ayya Musa.”
Al-Baqarah: 23, “wa la taqraba hadzihi syajarah.”
Al-A’raf: 10, “wa la taqraba hadzihi syajarah.”
Al-A’raf: 22, “alam anhakuma ‘an tilkumasy syajarah.”
Ibrahim: 24, “masalan kalimatan thayibatan kasyajaratin thayyibah.”
Ibrahim: 26, “wa mansyalatu kalimatin khabisyatin kasyajaratin khabisyah.”
Al-Isra: 60, “syajaratul mal’unah.”
Thaha: 120, “ya adamu hal adulluka ‘ala syajaratil khuldi.”
Al-Mu’minun: 20, “wa syajaratan takhruju min thurisaina.”
An-Nur: 35, “min syajaratin mubarakah.”
Al-Qashash: 30, “fi buq’atil mubarakati minasy syajarati ayya Musa.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar